"Ilmu Pengetahuan" lazim digunakan dalam pengertian sehari-hari, terdiri dari dua kata, "ilmu"dan "pengetahuan", yang masing-masing mempunyai
identitas sendiri-sendiri. Dalam membicarakan "pengetahuan" saja
akan menghadapi berbagai masalah, seperti kemampuan indera dalam memahami fakta
pengalaman dan dunia realitas, hakikat pengetahuan, kebenaran, kebaikan,membentuk pengetahuan, sumber pengetahuan, dsb.Kesemuanya
telah lama dipersoalkan oleh para ahli filsafat seperti Socrates,
Plato, dan Aristoteles, di mana teori
pengetahuan
merupakan cabang atau sistem filsafat. Oleh J.P.
Farrier,
dalam Institutes of metaphisics
(1854), pemikiran tentang teori pengetahuan itu disebut "epistemologi" (epistem = pengetahuan, logos= pembicaraan ilmu).
Keperluan sekarang adalah pengetahuan ilmiah yang harus
ditingkatkan
karena pengetahuan, perbuatan, ilmu, dan etika makin
saling
bertautan. Berulang kali
harus
diambil keputusan dalam
menerapkan secara praktis pengetahuan ilmiah. Semuanya itu
memperlihatkan suatu perpaduan dari pertimbangan moral ilmiah. Semuanya itu memperlihatkan suatu perpaduan dari pertimbangan moral
ilmiah. Dalam hal ini
dipertanyakan bagaimana mengkaji kemampuan manusia mengembangkan ilmu
pengetahuan guna memanfaatkan sumber daya alam,
dan bagaimana
memanfaatkan sumber daya untuk membasmi kemiskinan.
Teknologi dalam penerapannya sebagai jalur utama
yang
dapat menyongsong masa
depan
cerah, kepercayaannya sudah mendalam.
Sikap demikian adalah wajar, asalkan
tetap
dalam
konteks
penglihatan yang rasional. Sebab teknologi,
selain mempermudah kehidupan manusia, mempunyai dampak sosial
yang
sering
lebih
penting artinya daripada kehebatan teknologi itu sendiri.
1. ILMU PENGETAHUAN
Di kalangan
ilmuwan ada keseragaman pendapat, bahwa ilmu itu selalu tersusun dari pengetahuan secara teratur, yang diperoleh dengan pangkal
tumpuan (objek) tertentu
dengan sistematis, metodis,
rasional/logis, empiris, umum, dan
akumulatif. Pengertian pengetahuan sebagai istilah filsafat
tidaklah sederhana karena
bermacam-macam pandangan dan teori (epistemologi), di
antaranya pandangan Aristoteles, bahwa pengetahuan merupakan pengetahuan yang dapat diinderai dan dapat
merangsang budi. Menurut Decartes ilmu pengetahuan merupakan
serba budi; oleh Bacon dan David
Home diartikan sebagai pengalaman i_nderadan batin; menurut
Immanuel Kant pengetahuan merupakan persatuan antara
budi
danpengalaman; dan
teori Phyroo mengatakan, bahwa tidak ada kepastian dalarna pengetahuan. Dari berbagai macam pandangan tentang pengetahuan diperoleh sumber-sumber pengetahuan berupa ide, kenyataan, kegiatan
akal-budi, pengalaman, sintesis
budi, atau meragukan karena tak adanya sarana untuk mencapai
pengetahuan yang pasti.
Untuk membuktikan apakah isi pengetahuan itu benar, perlu berpangkal pada teori-teori kebenaran pengetahuan. Teori pertama
bertitik tolak adanya hubungan dalil, di mana pengetahuan dianggap
benar apabila dalil
(proposisi) itu mempunyai hubungan dengan dalil (proposisi) yang terdahulu. Kedua, pengetahuan itu benar apabila ada kesesuaian dengan
kenyataan. Teori ketiga menyatakan, bahwa pengetahuan itu benar apabila mempunyai konsekuensi praktis dalam diri yang mempunyai pengetahuan itu.
Banyaknya teori
dan pendapat tentang pengetahuan dan kebenaran
mengakibatkan suatu
definisi ilmu
pengetahuan akan mengalami
kesulitan. Sebab, membuat suatu definisi dari definisi ilmu pengetahuan yang dikalangan
ilmuwan sendiri sudah
ada keseragaman pendapat,
hanya akan terperangkap dalam tautologis (pengulangan tanpa membuat kejelasan) dan pleonasme
atau mubazir saja.
Pembentukan ilmu akan berhadapan dengan objek yang merupakaan bahan dalam penelitian, meliputi objek
material sebagai bahan yang menjadi tujuan penelitian bulat dan utuh, serta objek formal, yaitu sudut pandangan yang
mengarah kepada persoalan yang menjadi pusat perhatian. Langkah-langkah dalam memperoleh
ilmu
dan objek ilmu meliputi rangkaian kegiatan
dan
tindakan. Dimulai dengan pengamatan, yaitu suatu kegiatan yang diarahkan kepadafakta yang mendukung apa yang dipikirkan untuk
sistemasi, kemudian
menggolong-golongkan dan membuktikan dengan cara berpikir analitis, sintesis, induktif, dan deduktif'. Yang terakhir
ialah
pengujian
kesimpulan dengan menghadapkan fakta-fakta sebagai upaya mencari berbagai hal yang merupakan pengingkaran.
2. TEKNOLOGI
Dalam konsep yang pragmatis dengan kemungkinan berlaku secara akademis dapatlah dikatakan, bahwa ilmu pengetahuan (body of knowledge), dan teknologi sebagai suatu seni (state of art) yang mengandung pengertian berhubungan dengan proses
produksi; menyangkutcara bagaimana berbagai sumber, tanah, modal,
tenaga kerja dan keterampilan
dikombinasikan
untuk
merealisasi tujuan produksi. "Secara konvensional mencakup penguasaan dunia fisik dan biologis,
tetapi secara luas juga
meliputi teknologi
sosial, terutama teknologi sosial pembangunan (the social technology
of development) sehingga teknologi itu adalah metode sistematis
untuk mencapai setiap
tujuan insani." (Eugene Staley, 1970).
Dari batasan di atas jelas,
bahwa
teknologi social
pembangunan memerlukan semua
science
dan teknologi untuk
dipertemukan dalam menunjang tujuan-tujuan pembangunan, misalnya
perencanaan dan programing pembangunan, organisasi pemerintah dan
administrasi negara
untuk pembangunan sumber-sumber
insani (tenaga
kerja, pendidikan dan latihan), dan teknik pembangunan khusus dalam sektor-sektor seperti pertanian, industri, dan kesehatan.
Teknologi memperlihatkan fenomenanya dalam masyarakat sebagai hal impersonal dan memiliki otonomi
mengubah setiap bidang kehidupan manusia menjadi lingkup teknis. Jacques
Ellul dalam tulisannya berjudul "The Tech nological Society" (1964) tidak mengatakan teknologi
tetapi teknik, meskipun arti atau maksudnya sarna. Menurut Ellul
istilah teknik digunakan
tidak hanya untuk mesin,
teknologi atau prosedur
untuk memperoleh hasilnya, melainkan totalitas motode yang dicapai secara
rasional dan mempunyai
efisiensi (untuk memberikan tingkat
perkembangan)
dalam
setiap bidang aktivitas manusia. Batasan ini bukan bentuk teoritis,
melainkan perolehan dari aktivitas masing masing dan observasi fakta dari
apa yang disebut
manusia
modern dengan perlengkapan tekniknya. Jadi teknik menurut Ellul
adalah
berbagai
usaha,
metode dan cars untuk memperoleh hasil yang
sudah
distandardisasi dan diperhitungkan sebelumnya.
Fenomena teknik
pada masyarakat kini, menurut
Sastrapratedja
(1980)
memiliki ciri-ciri sebagai berikut :
a. Rasionalitas, artinya
tindakan spontak oleh teknik diubah menjadi tindakan yang direncanakan dengan
perhitungan rasional.
b. Artifisialitas, artinya
selalu
membuat
sesuatu
yang
buatan
tidak alamiah.
c. Otomatisme, artinya dalam
hal
metode, organisasi dan
rumusan dilaksankaan serba
otomatis.
Demikian pula
dengan
teknik
mampu mengelimkinasikan kegiatan
non-teknis menjadi
kegiatan teknis.
d. Teknis berkembang pada
suatu kebudayaan.
e. Monisme,
artinya
semua
teknik
bersatu, saling
berinteraksi dan saling bergantung.
f. Universalisme, artinya
teknik
melampaui batas-batas kebudayaan dan ediologi, bahkan
dapat
menguasai kebudayaan.
g. Otonomi, artinya
teknik
berkembang menu rut prinsip-prinsip sendiri.
3. ILMU PENGETAHUAN TEKNOLOGI DAN NILAI
Ilmu pengetahuan dan teknologi sering dikaitkan dengan nilai atau moral.
Hal ini besar
perhatiannya tatkala dirasakan dampaknya melalui
kebijaksanaan pembangunan, yang
pada hakikatnya adalah penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Penerapan ilmu
pengetahuan khususnya teknologi sering kurang memperhatikan masalah nilai, moral atau segi-segi manusiawinya. Keadaan
demikian tidak luput dari falsafah
pembangunannya itu sendiri, dalam menentukan pilihan antara orientasi produksi dengan motif ekonomi yang kuat, dengan orientasi
nilai yang menyangkut segi-segi kemanusiaan yang terkadang harus dibayar lebih
mahal.
Masalah nilai kaitannya dengan ilmu pengetahuan dan teknologi ini, menyangkut perdebatan sengit dalam menduduk
perkarakan nilai dalam kaitannya dengan
ilmu dan teknologi. Sehingga kecenderungan sekarang ada dua pemikiran yaitu
: yang menyatakan ilmu bebas nilai dan
yang menyatakan ilmu tidak
bebas
nilai.
Sebenarnya yang
penting dalam
permasalahan itu dapat dinyatakan. Sikap lain terhadap permasalahan ini
ada yang menyatakan kita tidak perlu
mengaitkan an
tara ilmu dan nilai. Pendapat yang terakhir ini, kurang dapat dipertanggungjawabkan, mengingat nilai atau moral
merupakan
hal yang
mendasar dalam kehidupan manusia, dan kita sudah merasakan dan melihat akibat
tidak
terkaitnya nilai
atau
moral
dengan
ilmu
pengetahuan atau teknologi.
Ilmu dapatlah dipandang sebagai
produk, sebagai proses,
dan sebagai paradigma etika (Jujun S. Suriasumantri, 1984).
Ilmu dipandang sebagai proses karena ilmu merupakan hasil dari kegiatan sosial, yang berusaha memahami alam, manusia dan perilakunya baik secara
individu atau kelompok.
Apa yang dihasilkan oleh
ilmu
pengetahuan seperti sekarang ini, merupakan hasil penalaran (rasio) secara objektif. Ilmu sebagai produk artinya
ilmu diperoleh dari hasil metode
keilmuwan
yang diakui
secara
umum
dan universal sifatnya.
Oleh karena itu ilmu dapat diuji kebenarannya, sehingga tidak mustahil suatu teori yang sudah mapan
suatu saat dapat ditumbangkan oleh teori lain. Ilmu
sebagai
ilmu, karena ilmu
selain
universal, komunal juga
alat
menyakinkan sekaligus dapat
skeptis, tidak begitu saja
mudah menerima kebenaran.
Istilah ilmu di atas,
berbeda
dengan
istilah
pengetahuan. Ilmu
adalah diperoleh melalui
kegiatan
metode
ilmiah
atau epistemologi. Jadi, epistemologi merupakan pembahasan bagaimana mendapatkan pengetahuan.
Epistemologi ilmu terjamin dalam kegiatan metode
ilmiah.
Metode
ilmiah adalah kegiatan
menyusun tubuh pengetahuan yang bersifat logis, penjabaran hipotesis dengan deduksi dan verifikasi atau menguji
kebenarannya secara
faktual; Sehingga kegiatannnya disingkat menjadi logis-hipotesis-verifikasi atau
deduksi hipotesis-verifikasi. Sedangkan pengetahuan adalah pikiran atau pemahaman di luar atau
tanpa
kegiatan met ode
ilmiah, sifatnya dapat dogmatis, banyak spekulasi dan tidak
berpijak pada
kenyataan smpiris. Sumber
pengetahuan dapat berupa hasil pengalaman berdasarkan akal sehat (common
sense) yang disertai mencoba-coba, intuisi (pengetahuan yang diperoleh tanpa penbalaran) dan wahyu (merupaklan pengetahuan yang diberikan Tuhan kepada para nabi
atau utusannya).
Ilmu pengetahuan pada dasarnya
memiliki tiga
komponen penyangga tubuh pengetahuan yang disusunnya
yaitu:ontologis, epistemologis
dan aksiologis. Epistemologis seperti diuraikan di muka,
hanyalah merupakan cara bagaimana materi pengetahuan diperole dan disusun menjadi tubuh pengetahuan. Ontologis dapat diartikan hakikat apa yang
dikaji
oleh pengetahuan, sehingga jelas ruang lingkup wujud yang menjadi objek penelaahannya. Atau dengan kata lain ontologis merupakan objek
formal dari suatu pengetahuan. Komponen Aksiologis adalah
asas menggunakan ilmu pengetahuan atau fungsi
dari ilmu
pengetahuan.
Ketiga komponen ontologis, epistemologis dan aksiologis tersebut erat
kaitannya dengan nilai atau
nilai moral.
Komponen ontologis kegiatannnya adalah menafsirkan hikayat realitas yang ada,
sebagaimana
adanya
(das sein),
melalui desuksi-desuksi yang
dapat diuji secara
fisiko Artinya ilmu harus be bas
dari
nilai-nilai yang
sifatnya dogmatik. Ilmu menurut pendekatan ontologis adalah pembebas
dogma-dogma. Hal ini
dibuktikan oleh
kasus
Galileo (1564-1642) yang
menolak dogma agama yang
menyaakan "matahari berputar mengelilingi bumi". sebab pernyataan tersebut tidak
sesuai dengan hakikat
yang
ada atau fakta sebagaimana ditemukan Copernicus (1473-1543) bahwa bumilah yang mengelilingi matahari. Sifat-sifat dogmatik inilah yang harus dijauhi
dalam argumentasi ilmiah.
Jalan pikiran kita sampai kepada ilmu pengetahuan itu sebagai alat
untuk mewujudkan tujuan-tujuan yang
mencerminkan harapan (das sollen) dengan jalan mempelajari sebagaimana adanya (das sein). Di sinilah, letak
kaitannya ilmu dengan moral atau nilai dari pendekatan ontologis.
Komponen epistemologis berkaitan dengan nilai at
au
moral pada saat proses
logis-hipotesis-verifikasi. Sikap moral implisit pada proses tersebut. Asas moral
yang
terkait secara ekplisit
yaitu kegiatan ilmiah harus ditujukan kepada pencarian kebenaran dengan jujur tanpa
mendahulukan kepentingan kekuatan
argumentasi pribadi.
Komponen aksiologis artinya
lebih lengket dengan nilai atau moral. di mana ilmu harus digunakan dan dimanfaatkan demi
kemaslahatan manusia. I1mu adalah
bukan tujuan tetapi sebagai alat
atau sarana dalam
rangka meningkatkan taraf hidup manusia,
dengan memperhatikan dan mengutamakan kodrat
dan martabat manusia serta
menjaga kelestarian
lingkungan alamo
Uraian
kaitan ilmu dengan nilai
di atas,
memperlihatkan bahwa
ilmu itu tidak bebas nilai. Adapun ilmu
yang
bebas nilai, maksudnya suatu
tuntutan yang ditujukan
kepada
semua kegiatan ilmiah atas dasar
hakikat
ilmu pengetahuan itu sendiri (Melsen, 1985).
Permasalahan ini kompleks,
mereka yang mendukung
be bas nilai
didasarkan
atas nilai khusus yang diwujudkan ilmu pengetahuan. Asumsi mereka
bahwa kebenaran
itu
dijunjung tinggi sebagai nilai, sehingga kebenaran itu
dikejar secara
murni dengan mengorbankan nilai-nilai
lain seperti menyangkut segi-segi kemanusiaan.
Pembicaraan selanjutnya adalah
kaitan
teknologi dan
nilai.
Namun sebelumnya, perlu menelusuri kaitan ilmu dan teknologi sebelum
memahami kaitan teknologi
dan nilai. Seperti kita maklumi, selain ilmu dasar
ada juga ilmu terapan. Tujuan ilmu terapan
ini
adalah untuk membantu manusia
dalam memecahkan masalah-rnasalah praktis, sekaligus memenuhi kebutuhannya.
Tentu saja ilmu
terapan ini
banyak alternatif-alternatif dan
perlu dialihragamkan (transformasikan) menjadi
bahan, atau peranti, at au prosedur, atau teknik pelaksanaan suatu proses pengolahan menjadi mudah dimanfaatkan
manusia dan melaksanakan produksi massal.
Tindak
lanjut dan hasil
seperti
demikian (hasil kegiatan ilmu terapan) inilah
yang
disebut
teknologi.
Apa pun arah
dan
kepada
siapa
diterapkannya teknologi, bergantung dari
si penguasa teknologi dan nilai atau moral yang dimilikinya.
4. KEMISKINAN
Kemiskinan lazimnya dilukiskan sebagai kurangnya pendapatan
untuk
memenuhi kebutuhan hidup
yang
pokok. dikatakan berada di bawah
garis kemiskinan apabila pendapatan tidak
cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup yang paling pokok
seperti pangan, pakaian, tempat berteduh, dll.
Kemiskinan merupakan tema
sentral dari
perjuangan bangsa, sebagai
inspirasi dasar dan perjuangan akan kemerdekaan bangsa, dan motivasi fun damental dari cita-cita menciptakan masyarakat adil
dan
makmur.
Garis
kemiskinan, yang
menentukan batas
minimum pendapatan yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan pokok, bisa dipengaruhi oleh tiga hal:
(1)
persepsi manusia
terhadap kebutuhan
pokok
yang
diperlukan, (2) posisi manusia dalam
lingkungan sekitar, dan (3) kebutuhan
objektif manusia untuk bisa hidup secara manusiawi.
Kesemuanya
dapat
tersimpul dalam barang
dan jasa
dan
tertuangkan dalam nilai uang sebagai patokan bagi penetapan
pendapatan minimal
yang diperlukan, sehingga garis
kemiskinan ditentukanoleh tingkat
pendapatan minimal (versi Bank Dunia
di kota 75 dolar
AS, dan di desa
50 dollar AS per
jiwa setahun, 1973). Menurut Prof.
Sayogya (1969), garis
kemiskinan dinyatakan dalam
rp/tahun, ekuivalen dengan nilai
tukar
beras
(kg/orang/ bulan, yaitu untuk desa 320 kg/orang/tahun dan untuk
kota 480 kg/orang/
tahun).
Atas
dasar ukuran ini maka mereka yang hidup
di bawah garis kemiskinan memiliki ciri-ciri sebagai berikut :
a.
tidak memiliki
faktor
produksi sendiri seperti tanah, modal, keterampilan, dsb.;
b. tidak memiliki kemungkinan untuk memperoleh asset produksi dengan kekuatan sendiri. seperti untuk
memperoleh tanah
garapan
atau modal usaha:
c. tingkat pendidikan mereka
rendah,
tidak
sampai tamat sekolah dasar karena
harus
membantu orang
tua mencari
tambahan penghasilan;
d. kebanyakan tinggal di desa
sebagai pekerja bebas
self
employed), berusaha apa saja;
e. banyak yang
hidup
di
kota
berusia muda,
dan
tidak
mempunyai keterampilan.
Kemiskinan menurut
orang
lapangan
(umum)
dapat
dikategorikan kedalam tiga unsur: (1) kemiskinan yang
disebabkan handicap badaniah ataupun
mental
seseorang, (2) kemiskinan yang
disebabkan oleh bencana alam,
dan
(3) kemiskinan buatan. Yang
relevan dalam
hal ini adalah
kemiskinan buatan, buatan manusia terhadap manusia pula yang
disebut dengan kemiskinan struktural.ltulah kemiskinan yang
timbul oleh
dan dari struktur-struktur (buatan manusia),
baik struktur ekonomi, politik, sosial, maupun
kultur.