Minggu, 10 Januari 2016

Agama dan Masyarakat

Bab 9 
Kaitan agama dengan masyarakat banyak dibuktikan oleh pengetahuan agama yang meliputi penulisan sejarah dan figur nabi dalam mengubah kehidupan sosial, argumentasi rasional tentang arti dan hakikat kehidupan, tentang Tuhan dan kesadaran akan maut menimbulkan relegi, dan sila Ketuhanan Yang Maha Esa sampai pada pengalaman agamanya para tasauf.
Bukti di atas sampai pada pendapat bahwa agama merupakan tempat mencari makna hidup yang final dan ultimate. Kemudian, pada urutannya agama yang diyakininya merupakan sumber motivasi tindakan individu dalam hubungan sosialnya, dan kembali kepada konsep hubungan agama dengan masyarakat,di mana pengalaman keagamaan akan terefleksikan pada tindakan sosial,dan individu dengan masyarakat seharusnyalah tidak bersifat antagonis.
Membicarakan peranan agama dalam kehidupan sosial menyangkut dua hal yang sudah tentu hubungannya erat, memiliki aspek-aspek yang terpelihara. Yaitu pengaruh dari cita-cita agama dan etika agama dalam kehidupan individu dari kelas social dan grup sosial, perseorangan dan kolektivitas,dan mencakup kebiasaan dan cara semua unsur asing agama diwarnainya. Yang lainnya juga menyangkut organisasi dan fungsi dari lembaga agama sehingga agama dan masyarakat itu berwujud kolektivitas ekspresi nilai-nilai kemanusiaan,
yang mempunyai seperangkat arti mencakup perilaku sebagai pegangan individu (way of life)dengan kepercayaan dan taat kepada agamanya. Agama sebagai suatu sistem mencakup individu dan masyarakat, seperti adanya emosi keagamaan, keyakinan terhadap sifat faham, ritus, dan upacara, serta umat atau kesatuan sosial yang terikat terhadap agamanya. Agama dan masyarakat dapat pula diwujudkan dalam sistem simbol yang memantapkan peranan dan motivasi manusianya, kemudian terstrukturnya mengenai hukum dan ketentuan yang berlaku umum, seperti banyaknya pendapat agama tentang kehidupan dunia seperti masalah keluarga, bernegara, konsumsi, produksi, hari libur, prinsip waris, dan sebagainya.
Salah satu kasus akibat tidak terlembaganya agama adalah " anomi" , yaitu keadaan disorganisasi sosial di mana bentuk sosial dan kultur yang telah mapan menjadi ambruk. Hal ini, pertama,disebabkan oleh hilangnya solidaritas apabila kelompok lama di mana individmerasa aman dan responsif dengan kelompok tersebut cenderung ambruk. Kedua, hilangnya konsensus atau tumbangnya persetujuan terhadap nilai-nilaidan norma (bersumber dari agama) yang memberikan arah dan makna bagi kehidupan kelompok.
Di samping ada gerakan yang menawarkan nilai-nilai dan solidaritas baru, ada juga tampil pola-pola sosial untuk mencari jalan keluar dari pengalaman yang mengecewakan anomi, menentang sumber yang nyata dan mencoba mengambil upaya pelarian yang telahdisediakan oleh situasi, seperti narkotika, alkohol, kelompok hippies, komunikasi nonverbgal, dan upaya pelarian lainnya. Keadaan demikian menimbulkan rangsangan dan kepekaan kelompok agama untuk mempermasalahkan masyarakat dan mendapatkan makna ham berupa gerakan menawarkan nilaidan solidaritas ham yang bersifat keagamaan meskipun,dalam kenyataannya, kaitan agama dengan masyarakat dapat merupakan daya penyatu (sentripetal) atau mungkin berupa daya pemecah (sentrifugal).

1. FUNGSI AGAMA
Untuk mendiskusikan fungsi agama dalam masyarakat ada tiga aspek pealing yang selalu dipelajari, yaitu kebudayaan, sistem sosial, dan kepribadian. Ketiga aspek tersebut merupakan kompleks fenomena sosial terpadu yang pengaruhnya dapat diamati dalam perilaku manusia, sehingga timbul pertanyaan, sejauh mana fungsi lembaga agama dalam memelihara sistem, apakah lembaga agama terhadap kebudayaan sebagai suatu sistem, dan sejauh manakah agama dalam mempertahankan keseimbangan pribadi melakukan fungsinya. Pertanyaan itu timbul sebab, sejak dulu sampai saat ini, agama itu masih ada dan mempunyai fungsi, bahkan memerankan sejumlah fungsi.
Sebagai kerangka acuan penelitian empiris, teori fungsional memandang masyarakat sebagai suatu lembaga sosial yang seimbang. Manusia mementaskan dan menolakan kegiatannya menurut norma yang berlaku umum, peranan serta statusnya. Lembaga yang demikian kompleks ini secara keseluruhan merupakan sistem sosial, di mana setiap unsur dari kelembagaan itu saling tergantung dan menentukan semua unsur lainnya. Perubahan salah satu unsur akan mempengaruhi unsur lainnya, dan akhirnya mempengaruhi kondisi sistem keseluruhan. Dalam pengertian lembaga sosial yang demikian, maka agama merupakan salah satu bentuk perilaku manusia yang telah terlembaga.
Teori fungsional dalam melihat kebudayaan pengertiannya adalah, bahwa kebudayaan itu berwujud suatu kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan, dan sistem sosial yang terdiri dari aktivitas-aktivitas manusia-manusia yang berinteraksi, berhubungan, serta bergaul satu dengan lain, setiap saat mengikuti pola-pola tertentu berdasarkan adat tata kelakuan, bersifat kongkret terjadi di sekeliling. Dalam hal ini kebudayaan menentukan situasi dan kondisi bertindak, mengatur dengan sistem sosial berada dalam batasan sarana dan tujuan, yang dibenarkan dan yang dilarang. Kemudian agama dengan referensi transendensi merupakan aspek penting dalam fenomena kebudayaan sehingga timbul pertanyaan, apakah posisi lembaga agama terhadap kebudayaan merupakan suatu sistem.
Manusia yang berbudaya menganut berbagai nilai, gagasan, dan orientasi yang terpola mempengaruhi perilaku, bertindak dalam konteks terlembaga dalam lembaga situasi, di mana peranan dipaksakan oleh sanksi positif dan negatif, menolakan penampilannya, tetapi yang bertindak, berpikir dan merasa adalah individu.
Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana masalah fungsional dalam konteks teori fungsional kepribadian, dan sejauh mana agama mempertahankan keseimbangan pribadi melakukan fungsinya. Kepribadian dalam hal ini merupakan suatu dorongan, kebutuhan yang kompleks, kecenderungan bertindak, dan memberikan tanggapan sorta nilai dan sebagainya yang sistematis. Kepribadian sudah terpola melalui proses belajar dan atas otonominya sendiri. Sebagai ilustrasi sistem kepribadian adalah Id, Ego, dan Superego yang ada dalam situasi yang terstruktur secara sosial.
Teori fungsionalisme melihat agama sebagai penyebab sosial yang dominan dalam terbentuknya lapisan sosial, perasaan agama, dan termasuk konflik sosial. Agama dipandang sebagai lembaga sosial yang menjawab kebutuhan mendasar yang dapat dipenuhi kebutuhan nilai-nilai duniawi. Tetapi tidak menguntik hakikat apa yang ada di luar atau referensi transendental (istilah Talcott parsons).
Aksioma teori fungsional agama adalah, segala sesuatu yang tidak berfungsi akan lenyap dengan sendirinya, Karena agama sejak dulu sampai saat ini masih ada, mempunyai fungsi, dan bahkan memerankan sejumlah fungsi. Teori fungsionalis agama juga memandang kebutuhan " sesuatu yang mentransendensikan pengalaman" (referensi transendental) sebagai dasar dari karakteristik dasar eksistensi manusia meliputi : Pertama, manusia hidup dalam kondisi ketidakpastian; hal penting bagi keamanan dan kesejahteraan manusiaberada di luar jangkauannya. Kedua, kesanggupan manusia untuk mengendalikan dan mempengaruhi kondisi hidupnya terbatas, dan pada titik dasar tertentu kondisi manusia dalam kaitan konflik antara keinginan dengan lingkungan ditandai oleh ketidak berdayaan. Ketiga. manusia barns hidup bermasyarakat, di mana ada alokasi yang teraturdari berbagai fungsi, fasilitas, dan ganjaran. Ini mencakup pembagian kerja dan produk. Dalam hal ini tentu masyarakat diharuskan berada dalam kondisi imperatif, yakni ini ada suatu tingkat superordinasi dan subordinasi dalam hubungan manusia. Kelangkaan ini menimbulkan perbedaan distribusi barang dan nilai, dengan demikian menimbulkan deprivasi relatif.
Fungsi agama dalam pengukuhan nilai-nilai, bersumber pada kerangka acuan yang bersifat sakral, maka normanya pun dikukuhkan dengan sanksi" sanksi sakral. Dalam setiap masyarakat sanksi sakral mempunyai kekuatan memaksa istimewa, Karena ganjaran dan hukumannya bersifat duniawi dan supramanusiawi dan ukhrowi.
Fungsi agama di bidang sosial adalah fungsi penentu, di mana agama menciptakan suatu ikatan bersama, baik di antara anggota-anggota beberapa masyarakat maupun dalam kewajiban-kewajiban sosial yang membantu mempersatukan mereka.
Fungsi agama sebagai sosialisasi individu ialah individu, pada saat dia tumbuh menjadi dewasa, memerlukan suatu sistem nilai sebagai semacam tu,ntunan umum untuk (mengarahkan) aktivitasnya dalam masyarakat, dan berfungsi sebagai tujuan akhir pengembangan kepribadiannya. Orang tua di mana pun tidak mengabaikan upaya " moralisasi" anak-anaknya, seperti pendidikan agama mengajarkan bahwa hidup adalah untuk memperoleh keselamatan sebagai tujuan utamanya. Oleh sebab itu, untuk mencapai tujuan tersebut harus beribadat dengan kontinyu dan teratur. membaca kitab suci dan berdoa setiap hari, menghormati dan mencintai orang tua, bekerja keras, hidup secara sederhana, menahan dirt dart tingkah laku yang tidak jujur, tidak berbuat yang tidak senonoh dan mengacau, tidaklah berdansa, tidak minum-minuman keras, dan tidak berjudi. Maka perkembangan sosialnya terarah secara pasti serta konsisten dengan suara hatinya.
Masalah fungsionalisme agama dapat dianalisis lebih mudah pada komitmen agama. dimensi komitmen agama, menurut Roland Robertson (1984), diklasifikasikan berupa keyakinan, praktek, pengalaman, pengetahuan, dan konsekuensi.

 a. Dimensi keyakinan mengandung perkiraan atau harapan bahwa orang yang religius akan menganut pandangan teologis tertentu, bahwa ia akan mengikuti kebenaran ajaran-ajaran agama.
b. Praktek agama mencakup perbuatan-perbuatan memuja dan berbakti, yaitu perbuatan untuk melaksanakan komitmen agama secara nyata. Ini menyangkut, pertama, ritual, yaitu berkaitan dengan seperangkat upacara keagamaan, perbuatan religius formal, dan perbuatan mulia. Kedua, berbakti tidak bersifat formal dan tidak bersifat publik serta relatif spontan.
c. Dimensi pengalaman memperhitungkan fakta, bahwa semua agama mempunyai perkiraan tertentu, yaitu orang yang benar-benar religius pada suatu waktu akan mencapai pengetahuan yang langsung dan subjektif tentang realitas tertinggi, mampu berhubungan, meskipun singkat, dengan suatu perantara yang supernatural.
d. Dirnensi pengetahuan dikaitkan dengan perkiraan, bahwa orang-orang yang bersikap religius akan memiliki informasi tentang ajaran-ajaran pokok keyakinan dan upacara keagamaan, kitab suci, dan tradisi-tradisi keagamaan mereka.
e. Dimensi konsekuensi dari komitmen religius berbeda dengan tingkah laku perseorangan dan pembentukan citra pribadinya.
c. Masyarakat-masyarakat Industri Sekular
Masyarakat industri bercirikan dinamika dan semakin berpengaruh terhadap semua aspek kehidupan, sebagian besar penyesuaian-penyesuaian terhadap alam fisik, tetapi yang penting adalah penyesuaian-penyesuaian terhadap alam fisik, tetapi yang penting adalah penyesuaian-penyesuaian dalam hubungan-hubungan kemanusiaan sendiri.
Perkembangan i l mu pengetah uan dan tek nologi mempun yai konsekuensi penting bagi agama. Salah satu akibatnya adalah anggota masyarakat semakin terbiasa menggunakan metode empiris berdasarkan penalaran dan efisiensi dalam menanggapi masalah kemanusiaan, sehingga lingkungan yang bersifat sekular semakin meluas, sering Kali dengan pengorbanan lingkungan yang sakral. Watak masyarakat sekular, menurut Roland Robertson (1984), tidak terlalu memberikan tanggapan langsung terhadap agama. Misalnya pemikiran agama, praktek agama, dan kebiasaan-kebiasaan agama peranannya sedikit.
Pada umumnya kecenderungan sekularisasi mempersempit ruang gerak kepercayaan-kepercayaan dan pengalaman-pengalaman keagamaan yang terbatas pada aspek yang lebih kecil dan bersifat khusus dalam kehidupan masyarakat dan anggota-anggotanya.

2. PELEMBAGAAN AGAMA
Agama begitu universal, permanen (langgeng), dan mengatur dalam kehidupan, sehingga bila tidak memahami agama, akan sukar memahami masyarakat. Hal yang perlu dijawab dalam memahami lembaga agama adalah, apa dan mengapa agama ada, unsur-unsur dan bentuknya serta fungsi dan struktur agama.
Dimensi ini mengindentifikasi pengaruh-pengaruh kepercayaan, praktek, pengalaman, dan pengeta huan keagamaan di dalam kehidupan sehari-hari. Terkandung makna ajaran "‘kerja" dalam pengertian teologis.
Dimensi keyakinan, praktek, pengalaman, dan pengetahuan dapat diterima sebagai dalil atau dasar analitis, namun hubungan-hubungan antara keempatnya tidak dapat diungkapkan tanpa data empiris.
Kaitan agama dengan masyarakat dapat mencerminkan tiga tipe, meskipun tidak menggambarkan sebenarnya secara utuh (Elizabeth K. Nottingham, 1954).
                a. Masyarakat yang Terbelakang dan Nilai-nilai Sakral
Masyarakat tipe ini kecil, terisolasi, dan terbelakang. Anggota masyarakat menganut agama yang sama. Oleh karenanya keanggotaan mereka dalam masyarakat dan dalam kelompok keagamaan adalah sama. Agama menyusup ke dalam kelompok aktivitas yang lain. Sifat-sifatnya :
1 ) Agama memasukkan pengaruhnya yang sakral ke dalam sistem nilai masyarakat secara mutlak.
2) Dalam keadaan lembaga lain selain keluarga relatif belum berkembang, agama jelas menjadi fokus utama bagi pengintegrasian dan persatuan dari masyarakat secara keseluruhan. Dalam hal ini nilai-nilai agama sering meningkatkan konservatisme dan menghalangi perubahan.
b. Masyarakat-masyarakat Praindustri yang Sedang Berkembang.
Keadaanmasyarakatnya tidak terisolasi, ada perkembangan teknologi yang lebih tinggi daripada tipe pertama. Agama memberikan arti dan ikatan kepada sistem nilai dalam tiap masyarakat ini, tetapi pada saat yang sama lingkungan yang sakral dan yang sekular itu sedikit ­banyaknya masih dapat dibedakan. Fase-fuse kehidupan sosial diisi dengan upacara-upacara tertentu. Di lain pihak, agama tidak memberikan dukungan sempurna terhadap aktivitas sehari-hari; agama hanya memberikan dukungan terhadap adat-istiadat, dan terkadang merupakan suatu sistem tingkah laku tandingan terhadap sistem yang telahdisahkan. Nilai-nilai keagamaan dalam masyarakat menempatkan fokus utamanya pada pengintegrasian kaitan agama dengan masyarakat. Tugas ini tidak mudah sebab agama lebih Laban terhadap kajian ilmiah dibandingkan dengan adat dan kebiasaan. Hal ini disebabkan oleh dua hal, yaitu pandangan yang emosional dan fikiran yang bias (rational bias).
Kebiasaan pandangan emosional ini akibat agama dengan segala sifatnya melibatkan nilai-nilai dasar yang menyebabkan agama itu hampir tidak mungkin dipandang dengan sikap yang netral. Pengamat biasanya sampai pada kesimpulan, bahwa agama bersifat mengelabui pikiran dan terbelakang, atau menyimpulkan agama bagi penganutnya terbaikdan tertinggi. Bila pengamat tadi menguraikannya secara ilmiah, maka ia akan memperlihatkan pandangan yang sifatnya menyalahkan atau membenarkan.
Pendekatan rasional terhadap agama dengan penjelasan ilmiah biasanya akan mengacu dan berpedoman pada tingkah laku yang sifatnya ekonomi s dan teknologis,dan lento kurang balk. Karenadalam tingkah laku unsur rasional akan lebih banyak, dan biladikaitkan dengan agama yang melibatkan unsur-onsur pengetahuan di luar jangkauan manusia (transendental), seperangkat simbol dan keyakinan yang kuat, hal ini nampaknya keliru.
Bila sifat rasional penuh dalam membahas agama yang ada pada manusia, maka berarti bersifat nonagama. Karena itu pendekatandalam memandang agama hanya sebagai suatu gejala (fenomena) atau kejadian. Ilmuwan yang menganut pandangan ini, juga akhirnya kecewa mengetahui adanya manusia dengan sifat nonrasional motlak atau terus­menerus nonrasional. Akhirnya ilmuwan akan kembali kepada interpretasi biologis, yang menganggap bahwa agama adalah ungkapan perasaan yang bersifat naluri (instink). Sebenarnya pandangan ini sama kelirunya Karena tingkah laku agama (menurut penganut pada agama ini) sifatnya tidak rasional, dan kesimpulannya barns berdasarkan naluri. Justru sebenarnya tingkah laku agama yang sifatnya tidak rasional ini memberikan manfaat bagi kehidupan manusia.
                Agama melalui wahyunya atau kitab sucinya memberikan petunjuk kepada manusia guna memenuhi kebutuhan mendasar, yaitu selamat di dunia dan selamat di akhirat. di dalam perjuangannya tentu tidak boleh lalai. Untuk kepentingan tersebut perlu jaminan yang memberikan rasa aman bagi pemeluknya. Maka agama masuk dalam sistem kelembagaan dan menjadi sesuatu yang rutin. Agama menjadi salah satu aspek kehidupan semua kelompok sosial. merupakan fenomena yang menyebar mulaidari bentuk perkumpulan manusia. keluarga, kelompok kerja, yang dalam beberapa hal penting bersifat keagamaan.
Bermula dari para ahli agama yang mempunyai pengalaman agama dan adanya fungsi deferensiasi internal dan stratifikasi yang ditimbulkan oleh perkembangan agama, maka tampillah organisasi keagamaan yang terlembagadan fungsinya adalah mengelola masalah keagamaan. Adanya organisasi keagamaan ini, meningkatnya pembagian kerjadan spesifikasi fungsi, memberikan kesempatan untuk memuaskan kebutuhan ekspresif dan adatif.
Pengalaman tokoh agama dan juga merupakan pengalaman kharismatik, akan melahirkan suatu bentuk perkumpulan keagamaan, yang kemudian menjadi organisasi keagamaan terlembaga. Pengunduran diri atau kematian figur kharismatik. akan melahirkan krisis kesinambungan. Analisis yang perlu adalah mencoba memasukkan strukturdan pengalaman agama, sebab pengalaman agama, apabila dibicarakan, akan terbatas pada orang yang mengalaminya. Hal penting adalah mempelajari " wahyu" atau kitab sucinya. sebab lembaga keagamaan itu sendiri merupakan refleksi dari pengalaman ajaran wahyunya.
Lembaga-lembaga keagamaan pada puncaknya berupa peribadatan, pola ide-ide Jan keyakinan-keyakinan. dan tampil pula sebagai asosiasi atau organisasi. Misalnya pada kewajiban ibadah haji dan munculnya organisasi keagamaan.
Dari contoh sosial, lembaga keagamaan berkembang sebagai pola ibadah, pola ide-ide, ketentuan (keyakinan), dan tampil sebagai bentuk asosiasi atau organisasi. Pelembagaan agama puncaknya terjadi pada tingkat intelektual, tingkat pemujaan (ibadat), dan tingkat organisasi.
Tampilnya organisasi agama adalah akibat adanya " perubahan batin" atau kedalaman beragama, mengimbangi perkembangan masyarakatdalam hal alokasi fungsi, fasilitas, produksi, pendidikan,dan sebagainya. Agama menuju ke pengkhususan fungsional. Pengaitan agama tersebut mengambil bentuk dalam berbagai corak organisasi keagamaan.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar